kadir’s Weblog

November 27, 2007

Filed under: Nasionalisme-ku — tintasejarah @ 4:00 pm

OH PAHLAWANKU![1]

 Di sebuah kamar ruangan kecil sekretariatan KAMMI Bandung aku merenung dan sedikit mengeluarkan air mata. Bukan karena apa-apa. Air mata itu keluar karena aku sedih akan Indonesia yang indah tapi kehilangan sosok teladan, sosok Negarawan. Keindahan Indonesia kini dikotori oleh manusia-manusia keparat; manusia-manusia jahat. Korupsi di mana-mana. Partai Politik disinyalir tak berperan apa-apa, karena hanya berbuat untuk meneruskan ’keenakkan’ (ke) duduk (an) di kursi empuk jabatan tanpa kerja progresif untuk rakyat yang menderita. Untuk tukang ojek, untuk pengajar tanpa gaji yang maksimum, untuk orang-orang cerdas yang tak terurus.

Indonesia memang kehilangan manusia-manusia terbaiknya. Semua yang telah lama berjuang kini telah tiada dan tak bersama di sini lagi; di negeri Indonesia. Suatu ketika dalam kenangku, aku merenung “mengapa Inonesia kini seperti ini?” Apa yang sudah aku berikan untuk Indonesia? Apa yang sudah aku lakukan untuk Indonesia? Aku menangis dan nyaris tak tertahan. Air mata ku keluar tanpa ragu. Aku teringat dengan perjuangan para tokoh bangsa yang memperjuangkan bangsa ini agar keluar dari penjajahan.

 

Oh Hatta,

Oh Natsir,

Oh Soekarno,

Oh Ahmad Dahlan,

Oh Hasyim Asyari,

Oh Diponegoro,

Oh Mahasiswa,

Oh Rakyat Indonesia


Ke manakah kalian pergi? Indonesia kini menderita lagi; dan nyaris sedikit yang berasa bertanggungjawab atas kondisi ini. Ke mana, ke manakah kalian pergi? Mengapa kalian pergi seakan tanpa izin? Mengapa kalian pergi? Sapaan Pahlawan memang lebih layak untuk kalian; tapi kini wahai Pahlawan, hanya sedikit yang melanjutkan peran-peran kalian.

Ya Allah, secara manusiawi aku tak tega mereka pergi tanpa penerusan sejarah. Mereka adalah anak terbaik umat dan bangsa ini. Tapi begitulah keikhlasan itu telah menghujam dalam hati-hati mereka. Aku sering berpikir dan suka bertanya : apakah peran anak-anak negeri; termasuk KAMMI saat ini adalah bagian dari penerusan sejarah masa lalu itu?

Ya Allah, tugas ini sangat berat. Indonesia memang Indonesia; tapi aku merasa bahwa apa yang dilakukan oleh kebanyakan anak negeri, termasuk KAMMI saat ini belumlah seberapa jika dibandingkan dengan pengorbanan para pahlawan yang telah berkorban untuk negeri khatulistiwa ini.

Oh Natsir, ke manakah engkau pergi? Kini Indonesia derita, sedih dan mengenaskan karena kehilangan tokoh Nasionalis berbasis nilai luhur keumatan dan kebangsaan. Oh Soekarno, ke manakah engkau kini? Indonesia kini kehilangan patriotisme. Patriotisme kini boleh jadi hanya seperti numpang kren. Perjuangan kini hanya ketika momentum pemilu. Nasionalisme kini hanya ada pada slogan bukan kerja nyata. Indonesia adalah Indonesia, ya itulah saat ini. Kebanggaan akan ke-Indonesia-an kini seperti bisu, tuli dan tak melihat kenyataan Indonesia. Para pemarkir politik hanya muncul ketika pajak-pajak parkir dinaikin. Di manakah fungsi legislasinya DPR saat ini?Di manakah fungsi eksekusinya Pemerintah saat ini? Di manakah funngsi kontrolingnya rakyat, media masa dan mahasiswa saat ini?

Kebanyakan anak-anak Indonesia saat ini lupa dengan apa yang diperankan oleh pahlawan-pahlawan di masa lalu. Peringatan hari pahlawan zaman ini boleh jadi hanya ritual tanpa mengambil hikmah dan pesan sejarah yang menggemilang. Peringatan kini justru boleh jadi hanya tebar pesona agar disebut sebagai pahlawan. Peran-peran mengisi kemerdekaan dan proses penerusan peran kepahlawanan para pahlawan kini hanyalah aktivitas rutinan tanpa agenda, tanpa kebijakan dan orientasi. Adapun jika ada itu hanya untuk sesuatu yang tak menyentuh kepentingan Indonesia, rakyat Indonesia. Semuanya politis. Semuanya demi kepentingan penokohanan bukan merangsang semangat patriotisme kerakyatan dan kebangsaan. Slogan kebangsaan dan perjuangan berbagai partai politik saat ini masih perlu gugatan; karena hanya disampaikan di atas mimbar-mimbar, di atas altar kekuasaan. ”Rakyat menderita, Politisi bermewah”, itulah kondisi kita orang Indonesia, kata seorang sahabat. Slogan Nasionalisme adalah semu kini. Ia tidak mengakar dan menyentuh ke perut alit; ya rakyat kecil yang menderita. Penderitaan kini hanya diobati dengan cara-cara ad Hock; ketika pemilu datang atau ketika masa-masa penokohan dan kamapanye. Rakyat memang untuk Inonesia tetap rakyat. Keberadannya adalah lebih baik tidak adanya. Karena jika rakyat ada bisa dipastikan mereka tetap menderita dan menjadi korban. Tapi aku banggga menjadi rakyat Indonesia. Walau menderita, Indonesia tetap bangsa dan negaraku. Kalaulah Indonesia ini hancur dan luluhlantah, aku tetaplah anak negeri ini yang mau berkorban dan bekerja banyak. Semoga siapapun yang membaca rintihan ini juga merasakan kondisi ini!

Tapi dalam kesedihanku, aku ingin menyapa : Oh pemimpinku, pernakhah kalian merenung dan berpikir panjang mengenai apa yang kalian perankan selama ini? Wahai rakyat Indonesia, pernah kalian mengevaluasi diri mengenai apa-apa yang kalian lakukan untuk negeri ini selama beberapa waktu yang telah berlalu? Apa impian kalian untuk Indonesia di masa depan? Wahai kalian mahasiswa dan pemuda Indonesia, apa yang kalian telah lakukan dan impikan untuk Indonesia? Tapi, mengapa Indonesia saat ini seperti Indoneisa yang tidak diimpikan oleh bapak-bapak bangsa?

Wahai kalian yang peduli akan Indonesia, berkacalah dan bercerminlah! Indonesia kini adalah seperti aku dan kamu yang hanya diam ketika rakyat menderita; ketika Indonesia merintih kesakitan. Indonesia sakit; ya ia sakit karena hutan ditebang di mana-mana. Pasir pesisir pantai kini dijual tanpa harga. Budaya ke-Timur-an kini tak bersahaja lagi, karena ia kehilangan identitas khususnya; sopan, santun dan mendidik. Lalu siapa yang salah atas semua ini?

Yang salah adalah aku dan kamu yang sok pahlawan padahal keparat dan tak bekerja dalam alam kenyataan yang menyentuh rakyat yang butuh energi baru, yang butuh uluran advokasi. Karena kini yang lapar bukan perutnya saja tapi juga rasa kebangsaannya dimusnahkan oleh slogan palsu para elit yang bermuka tebal.

Wahai Indonesia dan rakyat Indonesisa, maafkan aku dan siapaun penghuni negeri ini. Kami belum melakukan apa-apa untukmu; tapi percayalah bahwa setiap masa ada pahlawannya. Momentum kehadirannya ada di mana-mana dan kapan saja. Ku mohon engkau Indonesia dan rakyat Indonesia turut berdo’a agar aku dan sidpapun anak negeri ini menjadi penerus pahlawan di masa lalu yang kini telah tiada. Ini memang bukan tugas kecil, tapi kekuatan impian kata Ust. Musthofa Muhamad Thohan adalah kekuatan pemuda di masa lalu yang menyebabkan para sahabat menang dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Begitu juga ketika Hasan Al Banna membangun imperium kebenaran di seantero Mesir dan bahkan sampai ke seluruh penjuru dunia saat ini.

Lalu, bisakah nilai-nilai luhur itu menjadi identitas kita saat ini? Tidak ada yang tidak mungkin. Dalam konteks ini tidak ada pemutlakan; artinya apa yang mereka lakukan pada masa lalu, nilai-nilai kepahlawanan mereka kemungkinan besar juga akan bisa diperankan oleh kita-kita saat ini. Bukankah begitu? Jika kamu, dia tak mau biarkan aku mengatakan pada diriku : Akulah Pewaris mereka.

Selamat bertobat Pemimpin keparat, Selamat berasabar rakyat yang melarat, Selamat jalan Pahlawan Indonesia yang sudah lama menjadi mayat; Selamat datang Pahlawan Baru Indonesia. Allahu Akbar !

PENUTUP 

            Hanya kepada Allahlah kita memohon supaya ikhtiar kita menuai hasil. Semoga Allah SWT akan meringankan gerak langkah dan memberikan petunjuk serta bimbingan  kepada kita semua untuk mengantarkan bangsa ini menjadi lebih baik melalui  renungan sederhana ini.

 

 


[1] Jembar, Sabtu; 10 November 2007

EVALUASI ULANG SIKAP KE-INDONESIA-AN KITA

Filed under: KAMMI — tintasejarah @ 3:57 pm

EVALUASI ULANG SIKAP KE-INDONESIA-AN KITA

(Sebuah renungan kebangsaan untuk Indonesia Baru)[1]

Prolog

Gejala-gejalanya sudah meremang di sekujur tubuh negeri kepulauan ini. Pesimisme dan apatisme bukan saja terekspresikan dalam bentuk ungkapan lisan dan perilaku fisik, tapi sudah menjadi senandung mental kebanyakan anak negeri ini; dan mungkin termasuk diri kita. Semuanya memperlihatkan rona muka anak bangsa yang gelisah; mencari pegangan kuat di mana kita bisa mengendalikan perahu layar kita yang diombang-ambingkan oleh ombak besar adab digital – tepatnya adab pragmatis. Kegelisahan itu tampak sebagai upaya-upaya parsial yang mengalami kesulitan titik temu, karena semua modus titik temu sudah diambil alih dan dikuasai oleh kekuatan dominan. ‘Ia tinggal sebagai serpihan’. kata Rendra. Sebagian menarik, tapi sebagian yang lain menggelikan dan mengecewakan. Hasilnya, perilaku, sikap, cara berpikir dan mentalitas kebanyakan anak bangsa : kacau, gamang dan bahkan mengecewakan. Dan itu terjadi di semua lini. Kita tentu masih – tepatanya harus – punya impian dan harapan.

Dengan kesadaran yang belum sempurna, saya berharap renungan (red. Kerumunan) ini bisa menghimpun serpihan-serpihan pengertian, menyusun satu benteng peringatan dari kenyataan yang kita lihat selama ini. Gagasan ini tentu bisa dipahami sebagai gagasan yang tersusun dari pecahan-pecahan ide yang boleh jadi bukan solusi dan cendrung sektoral. Sehingga membuat kita bertanya, apakah ini menyusun jawaban atas banyak pertanyaan – tepatnya masalah kebangsaan – atau kerumunan ’gila’ yang tidak punya makna apapun untuk kader KAMMI atau manusia-manusia lain untuk Indonesia yang lebih ’Indonesia’ lagi? Tentu belum ada yang bisa memberikan jawaban secara langsung, tetapi yang menjadi harapan adalah – semoga – kerumunan ini bisa menjadi awalan bagi kita atas sebuah kesadaran kolektif; bahwa kita sedang jinak dan dijinakkan oleh banyak hal. Walaupun boleh jadi kerumunan ini titik pesannya sulit dipahami, tapi kondisi ini harus diterima; ya harus diterima. Minimal sebagai koreksi atas kemalasan kita untuk menorehkan gagasan di atas kertas bungkus kacang sisa makan kita. Sekaligus sebagai bacaan membingungkan di saat kita mencari sebungkus kerupuk ketika kita bangun dari tidur. Atau ketika teman-teman kaderisasi KAMMI ’berhenti sejenak’ dari agenda-agenda kaderisasi. Untuk selanjutnya, selamat merenung!

Langkah Paradok ke-Indonesia-an Kita

Dunia memang mungkin menyedihkan. Mungkin lantaran itu, begitu oksigen pertama kita hirup, rasa nyeri, sesal dan nestapa kontan menyerbu, sehingga kita meneriakkannya dalam tangisan seduh tanpa henti; walaupun mungkin hanya dengan tangisan hati nurani. Tak cukup dengan itu, dari detik pertama kita ada (bahkan sejak berada dalam janin), ternyata kita sudah menyerah : mau tidak mau menerima tawaran (paksaan) dunia. Sesuatu yang tampak given (pemberian), walau sebenarnya adalah choices (tawaran atau pilihan). Dunia adalah tawaran yang dengan begitu kerasnya mendesak kita, sehingga kita tidak lagi berpeluang untuk menolaknya. Betapapun itu mungkin dalam kuasa atau genggaman kita. Maka demikianlah kebudayaan dan peradaban berjalan, meminta semua warga dan semua pengikutnya untuk ikut serta, pada saat atau detik mereka menolaknya. Inilah bentuk otoriterianisme, juga penaklukan atau kolonialisme pertama yang paling purba dalam sejarah manusia. Ya, begitulah dunia mengajak manusia untuk bermaksiat pada zamannya. Bukan saja adat-istiadat, tradisi dan segala pernik dan dimensinya, memenjara dan menelikung sekujur hidup kita, mulai ranjang bayi kita yang pertama hingga ranjang di lahat nanti; tapi juga aturan budaya moderen, dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum kemudian meminta kita untuk menjadi makhluk yang ’tak lagi bisa memilih’. Menjadi manusia yang kalah dan menyerah secara total; menjadi korban. Kita menjadi manusia jinak dan dijinakkan oleh trend dunia global yang membisu. Tak perlu kita menghitungnya satu persatu. Karena ia ada dalam setiap hidup kita yang berjalan. Pertanyaan-pertanyaan mudah dan retoris seperti di prolog kerumunan ini, dapat menyerbu kita. Tanpa ada satu kata pun dapat kita produksi sebagai jawabannya. Dapatkah, misalnya, kita menolak untuk berbusana dengan gaya atau mode global yang kumuh dan terus terperbarui dengan nilai-nilai impor? Dapatkah kita menghindar untuk tidak berbelanja di tempat-tempat para – meminjam istilah M.H. Ainun Najib – ’penjual pantat?’ Atau menjauhkan diri dari TV yang menjual identitas yang tidak perlu dipertontonkan? Sungguh menjadi nyata kini apa yang disinggung oleh M.H. Ainun Najib ketika menanggapi spekulasi mengenai goyang ’Inul’ beberapa tahun yang lalu, ”sulit membedakan mana dubur dan mana muka”.

Ini tanpa bermaksud mengajak anak-anak negeri tercinta ini untuk berpikir jorok dan kembali hidup sebagimana pada zaman purba yang penuh keterbatasan. Tapi ini sebagai koreksi total budaya impor yang sudah tak keburu urus. Dan begitulah kenyataannya. Sebagai bangsa kita telah ditaklukan, dan kita seakan-akan tidak punya pilihan lain. Budaya-budaya impor seakan telah berubah posisi, dari sekedar sebagai ’perusak moral’ ke ’perusak peradaban’. Lihat saja di berbagai kota besar, bagaimana budaya-budaya telanjang sudah merajalela, dan seperti bukan dianggap sebagai pelanggaran asusila lagi. Semuanya dikemas dalam baju ’HAM’. Entahlah, siapa yang salah; tapi di sini, di Indonesia ini, kita hidup bersama kondisi-kondisi itu. Bukan karena apa-apa sebetulnya, tapi karena memang kita diatur oleh sistem nilai yang membuat kita ’munafik, bahkan ’murtad’ dengan nilai khas kebanyakan anak negeri tercinta ini. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di sisi lain, tepatnya urusan perut, lumrah kini, jika sebagai bangsa kita juga sebagai pemamah sempurna barang-barang konsumtif seperti Mc Donald, Sepatu nike, Mini Market, terpesona infotainment dan kadang kita tidak memahaminya. Kita telah jinak dengan ’sampah-sampah’ dunia itu. Sebagai anak bangsa kita masih malu dengan produk-produk ’saudara-saudara’ kita sendiri; saudara sebangsa dan setanah air, Indonesia. Yang secara substansi masih memiliki nilai dan tidak kalah saing secara kualitas. Pada tingkat lebih tinggi, apakah pemerintah atau elit bangsa kita dapat menghindar dari logika global tentang sebuah pemerintahan : yang perlu memiliki satuan militer dengan kelengkapan dan senjata yang sama dan super mahal tapi tidak daya guna padahal masih banyak perut lapar yang tak terurus? Terus masuk ke dalam satu sistem pasar dan ekonomi yang terintegrasi sedemikian rupa secara global dengan mekanisme ribawi yang menjerumuskan? Kemudian mengupayakan ’demokrasi’ dan ’pasar bebas’ – dua mantra global – dengan kelengkapan-kelengkapan kenegaraan (seperti presiden, menteri, parlemen dan lain-lain) dan logika politik yang serba impor? Menjadi manusia, menjadi negara, menjadi sebuah bangsa adalah kemenyerahan kita pada atribut dan aturan logis yang menyertainya, betapapun dia asing dan kadang tidak logis bagi komprehensi dunia ke-Indonesia-an kita. Kita adalah makhluk yang jinak untuk menerima itu semua tanpa kuasa bahkan untuk sekedar menolak atau mengubahnya.

Semua hal yang menggiriskan di atas disebabkan – anatara lain – oleh kerancauan atau bahkan oleh ketidaktahuan kita tentang di bagian mana seharusnya kita menerima, mempertanyakan atau menolak hal-hal yang seakan-akan given di atas. Dan inilah beberapa hal yang kemudian membuat kita ambigu dan kontradiktif dalam bersikap dan menyikapi berbagai kondisi bangsa yang menyebalkan ini. Pertama; Kita rancau dalam mengindetivikasi subjek atau substansi masalah. Kita berteriak-teriak memprotes kenaikan tarif tol, kenaikan harga BBM, korupsi, birokrasi macet dan lain-lain. Tapi kita menerima dengan ikhlas sistem yang melahirkan itu semua : kapitalisme, demokrasi (yang pragmatis) dan lain-lain. Kedua; Kita pun rancau dalam mengenali sumber dari sebuah masalah. Ketika kita ribut tentang dana pendidikan, IPM, harga buku yang mahal; di sisi lain kita justru membela dan meminta-minta pemerintah memperlakukan aturan HAM (yang semu), kebebasan dengan berbagai instrumennya, hak intelektual dan seterusnya. Ketiga; Kita pun rancau dalam membedakan domain dari sebuah masalah, ekonomi maupun politiknya. Kerapkali misalnya kita anti monopoli, perjanjian tak sehat serta meminta perlindungan atas usaha kecil-menengah dan tradisional. Tetapi kita tetap saja beli sedan toyota, indomie dan seterusnya. Kita adalah pemburu, tak berpeluru. ’Salah tembak lagi’, kata Radhar Panca Dahana dalam Resis Book seri Ideologi.

Segala kerancauan di atas umumnya terjadi karena kita secara tidak sadar menetapkan satu pihak (walaupun banyak pihak) yang menjadi sasaran atau kepentingan politik kolektif kita, yaitu pemerintah. Ini memang berlatar historis, dan tentu tanpa bermaksud melakukan pembelaan terhadap SBY-JK (kecuali mungkin bagi mereka yang kebetulan afiliasi – kooperatif); namun yang menjadi hal penting untuk dikoreksi adalah kegelapan cara pandang kita juga, yang tertipu bahkan terjinakkan oleh cara pandang yang dilansir oleh kepentingan di luar pemerintah, yaitu – meminjam istilah Samuel P. Huntington – modal dan kapital. Artinya, kita sering menentang paradigma pemerintah, tapi pada saat yang sama kita manja menggunakan paradigma modal dan kapital. Ironi dan sungguh ironi. Idealnya kita tidak setengah-setengah dalam mengambil posisi dalam tingkat nasional maupun tatanan global. Kalaulah kita sepakti bahwa elit bangsa ini (yang digelari sebagai anak pragmatis) – tepatnya masih dimainkan oleh ’kepentingan’ global sebagai akar berbagai problematika; lalu mengapa kita tidak sekalian saja menghantam akar yang menjadi sumbernya? He, siapa yang siap menjawab? Mengapa diam?

Penutup

Kita sudah maklum, bahwa hanya sedikit anak negeri yang mengaku bersalah dan siap menerima konsekwensi dari usulan-usulan dan kritikan-kritikan ini. Tapi kita perlu tegaskan ini secara terbuka, setidaknya untuk kenangan di masa depan, bahwa ada suatu masa (lalu) para anak bangsa (red. Politisi) bebal dan bermuka tebal, memalukan sejarah, pendahulu (Founding Father) dan anak-anaknya sendiri. Kerumunan ini sengaja diketengahkan ketika selesai ramadhan; biar lebih terinternalisasi dan lebih tercerahkan. Kita tercerahkan secara mental dan spiritual mungkin oleh syaum dan instrumen-instrumennya; sedangkan kerumunan ini hanyalah – semacam rinso yang mencuci ’mind set’ kita. Dan dalam konteks ini saya berbeda dengan kader KAMMI yang beberapa waktu yang lalu SMS ke saya, bahwa sekarang masa-masanya ’maaf-mafaan’, dan karenanya evaluasi dan koreksi dibenahi – tepatnya dikurangi volumenya. Terkait dengan impian Indonsia baru, saya berharap, mudah-mudahan KAMMI mau membaca kondisi ini secara terbuka, semoga!

Bukan sekedar karena berbagai kondisi-kondisi tadi, tapi juga karena kalau kita melihat kenyataannya, dalam konteks kepemimpinan nasional, kita pun harus hidup dan terus mencari. Ya kita terus mencari ’Bapak Bangsa’ yang pandangan mata dan gerakan bibirnya akan membuat jiwa-jiwa muda ’berani berkubang darah dan mati berkalang tanah’. Mencari pemimpin yang akan membawa cita-cita kita jauh ke ujung sana; ujung paradigma keduniaan kita; ya akhirat. Bukan dia yang hanya bisa membuat statement atau meminjam istilah Anis Matta – ’lelucon yang tidak lucu.’ Itukah aku, kamu, dia, kita, kalian atau mereka? Atau aku seorang diri? Tentu kita berharap impian ini bukan sekedar impian yang membawa kita ke – semacam – jenjang yang cuma bertengkar dalam ruang impian; karena kita memiliki kehendak lebih dari itu, sesuai dengan pesan visi KAMMI dalam konstitusinya; kitab organisasi kita, ’membangun kesadaran masa kini yang bersumber pada bacaan terhadap sejarah masa lampau dengan setingan masa depan Indonesia Baru yang tercerahkan’.

Ali Syari’ati, Sosiolog kondang dari Iran pada paro kedua abad 20 mengingatkan ”bahwa pada setiap zaman ada sekelompok orang yang tidak bisa dimasukkan pada kelompok massa karena pengetahuannya yang tinggi, akan tetapi tidak juga bisa digabungkan kepada kelompok elit karena keusilannya menampilkan gagasan-gagasan kontroversial yang sering membuat ‘merah kuping’ banyak kalangan. Mereka menyimpang dari mainstream, melenceng dari zeitgeist, dari nada zamnnya; tepatnya zaman yang edan. Mereka itulah kelompok ‘para pemikir yang tercerahkan’ (raushanfekr)”. Kata Ali Syariati, jika kita mau melihat masa depan suatu masyarakat, maka kita harus melihat pada karakteristik kelompok yang ’menyimpang’ ini. Merekalah yang bakal membentuk masa depan. Pertanyaannya, apakah kader-kader KAMMI mau mengambil posisi itu dan peran itu? Kita tunggu saja apa jawaban kader-kader KAMMI (tepatnya KAMMI Bandung). Ya kita tunggu.


[1] Jembar, Sabtu/15 September 2007 (Dilanjutkan pada Senin/1 Oktober 2007)

GLOBALISASI DALAM WACANA GERAKAN KAMMI

Filed under: Globalisasi — tintasejarah @ 3:51 pm

 

GLOBALISASI DALAM WACANA GERAKAN KAMMI

(Titik Merentas Paradigma Profetik Kader KAMMI)[1]


Prolog
Sebelumnya di sini perlu saya jelaskan bahwa tulisan ini ingin menawarkan kesempatan merenung, memberi ruang untuk berpikir lebih dalam mengenai ruang identitas tentang tantangan dan ancaman masa sekarang dan pada masa yang akan datang bagi dunia islam; dan bagi saya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (selanjutnya disingkat KAMMI) harus bertanggungjawab mengenai kondisi ini. Bukan karena apa-apa; tapi karena menurut saya – meminjam istilah Rizalul Imam dalam IBHAR – ‘kelahiran KAMMI di akhir kekuasaan Soeharto tidak muncul secara tiba-tiba. KAMMI adalah bagian dari rencana gerakan yang dibangun oleh arus kebangkitan dunia islam’,
[2] dan secara khusus di Indonesia.

Perkembangan peran-peran KAMMI dalam perbaikan negara dan masyarakat semakin menuai hasil, terutama dalam pembentukan pandangan publik yang islami’. Tesis ini memang seakan tidak populer; terlebih jika tidak ditopang oleh contoh nyata dalam realita kebangsaan. Atau dalam istilah lain, tesis ini hanyalah mimpi yang tidak realistis. Apapun sanggahannya, saya ingin mengatakan dalam angan kecil bahwa ada semacam gerakan gugatan besar yang menyebabkan KAMMI lahir; dan karena itu pulalah KAMMI bisa menuai – walaupun – sedikit hasil. Di antara alasan yang memperkuat argumentasi ini adalah sebuah analog sederhana “bayi kecil tidak akan bisa bicara lantang segema KAMMI pada tahun 1998 jika tidak ada ibu yang melahirkannya”.

Pada coretan ini saya tidak mengajak kita untuk ribut mendialog atau mendiskusikan dasar filosofis kehadiran KAMMI di ruang teduh Indonesia, tapi ingin mencoba menakar sebuah materi objek global yang kini sering didialogkan oleh banyak kalangan; yaitu Globalisasi. Pergulatan ini tentunya tidak bermaksud mengajak KAMMI untuk mendialogkan sesuatu yang mengawang-awang, tetapi menurut saya ini adalah hal penting yang harus mulai dirambah oleh ‘otak-otak’ kader KAMMI, terutama jika kepekaan KAMMI terhadap realita kreasi dunia – terutama Indonesia – ke depan dijawab dengan Muslim Negarawan dengan berbagai macam penjelasan dan penafsirannya.  Berbicara tentang globalisasi dan gerakan islam, yang terlintas dalam benak kita adalah pertama bisa jadi kesan pertentangan dan pertarungan, ada hitam dan ada putih. Tidak ada wilayah abu-abu. Dalam konteks ini saya tidak bergulat untuk itu. Karena dalam hal ini, saya tertarik untuk memasukkan diri dalam ‘ruang’ pembicaraan yang lebih substansial; yaitu globalisasi dalam konteks identitas. Bagaimana perebutan identitas terjadi dalam lapangan kehidupan kita. Perebutan identitas itulah yang kemudian memproduksi banyak hal. Bagaimana kerinduan terhadap identitas terjadi dan menggerakkan hidup seseorang, komunitas atau bahkan peradaban global. Bahkan dalam galibnya terkadang ia dapat ditarik ulur dalam wilayah pencarian identitas personal. Identitas terhadap siapa dan apa? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan itu secara global; dan mudah-mudahan sistematis, semoga!

 Globalisasi : Defenisi dan Dalam Kemasan Kritik 

 Terutama sejak 1990-an, wacana Globalisasi-Kapitaslime menghiasi kancah intelektual dunia, terutama Barat. Sebagian pihak menganggap globalisasi merupakan proses alamiyah dari kedinamisan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam perspektif demikian, setiap bangsa di dunia ini memang sudah seharusnya dan sewajarnya untuk hidup bersama-sama dan berpartisipasi aktif mengembangkan kehidupannya dalam wadah globalisasi.

Di sisi lain, banyak hal mengenai globalisasi ini yang menjadi bahan perdebatan para pakar. Mulai dari defenisi, realitasnya dari segi ‘apakah ia benar-benar terjadi’ ataukah sekedar rekayasa, kapan mulainya; apakah globalisasi menghasilkan perdebatan, apakah globalisasi mengekang keberadaan negara-bangsa atau bergerak demi memunculkan ketunggalan peradaban global? Terlepas dari hiruk-pikuk yang mendialogkan itu, sebenarnya sangat sulit untuk menempatkan globalisasi dalam satu kerangka intelektual yang homogen. Karena jangankan para pakar, saya dan kader-kader KAMMI yang lain boleh jadi mengalami perdebatan yang mengasikkan – atau semacam sakit otak – mengenai hal ini. Apalagi dengan keragaman referensi dan cara berpikir kader KAMMI yang butuh kesabaran untuk ‘mendengarkannya’.

Karena itu, sebelum terlalu jauh memberikan defenisi ‘globalisasi’, saya ingin minta izin – tepatnya minta maaf – ke kader-kader KAMMI; biar jika tulisan ini nanti ada yang kurang bijak atau kurang sesuai dengan cara berpikir kader-kader KAMMI; tidak banyak menyesatkan pikiran holistik yang sudah mapan dan sejak lama disuap melalui rahim kaderisasi KAMMI; Madrasah KAMMI.[3] Mohon diizinkan!

 Globalisasi : Perihal Defenisi

Budi Winarno (2004 : 37) melihat bahwa dalam banyak defenisi, terutama yang berangkat dari kaum globalis, konsep globalisasi merujuk pada fenomena di mana batas-batas negara bangsa tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Hal ini ditandai dengan banyaknya persoalan kontemporer yang tidak dapat dipelajari secara memadai hanya pada tingkatan Negara-Bangsa, dalam arti masing-masing Negara-Bangsa dan hubungan-hubungan internasional. Sebagai gantinya, persoalan-persoalan kontenporer harus diapahmi sebagai bagian dari proses global, yang banyak dipengaruhi kekuatan-kekuatan global di luar negeri Negara-Bangsa, seperti perusahan-perusahan transnasional, lembaga-lembaga ekonomi global, budaya global, pengglobalan berbagai macam ide dan ideologi dari berbagai macam tipe atau kombinasi dari semua itu.

Namun demikian, Winarno (2004 : 39) juga mencatat adanya tiga hal yang sering kita temukan dalam pendefenisian globalisasi, yaitu : kesalinghubungan, integrasi, dan kesalingterkaitan. Masalah kesalinghubungan bisa dilihat dari defenisi globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling berhubungan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Atau dalam defenisi lain, sebagai proses munculnya masyarakat global yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik, dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembaga-lembaga politik dunia.[4]

Globalisasi sebagai Peristiwa Sejarah

Dalam konteks ini, globalisasi merupakan suatu periode tertentu dalam sejarah, bukannya suatu fenomena sosiologis atau kerangka teoritis. Ia dimulai dengan menurunnya ketegangan kutub Politik Barat dan Timur serta berakhirnya perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin. Globalisasi adalah fase sejarah yang terjadi segera setelah Perang Dingin. Dalam hal ini globalisasi menurut M. Ramdhan Adi (2005 : 6) terikat oleh waktu.

Entah berkaitan atau tidak, tapi bisa dikatakan bahwa globalisasi merupakan lanjutan dari Perang Dingin, atau globalisasi bisa dianggap sebagai sebuah periode sejarah. Selanjutnya dari sisi ekonomi, globalisasi sebagai fenomena ekonomi Dalam konteks ekonomi, globalisasi disifati sebagai rangkaian fenomena ekonomi. Ia mencakup liberalisasi, privatisasi dan lain-lain. Lalu apa yang salah dengan globalisasi?

Globalisasi sebagai Hegemoni nilai-nilai Amerika

Cara terbaik untuk memahami defenisi Globalisasi – dalam hal ini konteksnya Kapitalisme – dalam konteks ini ialah dengan melihat buku karya Frances Fukuyama, The End of History and The Last Man.[5] Akhir Perang Dingin merepresentasikan hasil dari pertarungan ideologis yang dimulai sejak usainya Perang Dunia II. Hal itu menandai difusi dan asimilasi kemampuan teknologi, Finansial dan institusi Barat – khususnya Amerika.

Dalam defenisi ini, globalisasi secara normatif adalah sesuatu yang baik, yang mempresentasikan kemenangan modernisasi dan demokrasi yang didefenisikan sebagai pembangunan ekonomi industri yang melibatkan karakteristik keterlibatan aparat negara yang terbatas, konsep perwakilan dalam pemerintahan dan konsep kebebasan dalam kehidupan. Tetapi jika kita melihat realitasnya, globalisasi adalah fenomena yang membahayakan. Itu kata sebagian pakar dan penggiat dialog global.

Sebelum terlalu jauh memberikan penjelasan, saya ingin mengajak kita ke dalam kerangka berpikir yang berbeda. Saya pikir demi kepentingan aksi dan kreasi-kreasi jangka panjang yang lebih substansial, KAMMI harus memahami globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat pada satu pihak. Adalah terlalu optimis jika KAMMI melihat dunia sebagai satu kesatuan. Tanpa bermaksud mengadvokasi kelemahan-kelemahan globalisasi – terutama yang memakai baju kapitalis – namun atas nama masa depan yang lebih baik, KAMMI sepertinya tetap punya alasan bahkan banyak alasan untuk bisa menikmati globalisasi. Salah satunya dalam konteks gerakan Transnasional berbasis islam.

Globalisasi  dalam Ruang Kritik

Setelah kita mendapatkan sekelumit pemahaman tentang globalisasi, mari kita meloncat ke pembahasan yang lebih menantang. Dalam sejarahnya kita bisa memahami bahwa identitas islam lahir dan kian menguat saat ada pemaknaan terhadap ‘yang lain’ yang semakin kuat dan asing. Nilai-nilai asing yang semula asing itu pun secara tidak langsung menguatkan nilai identifikasi umat islam terhadap dirinya. Entitas bukanlah kekuatan yang cukup untuk membendung globalisasi yang dimaknai sebagai nilai ‘yang lain’. Entitas tak selalu punya kuasa untuk menegasikan globalisasi yang konon memiliki kecepatan informasi dan kekuatan modal dalam sekejab. Pertanyaannya, apakah nilai-nilai Globalisasi-Kapitaslisme dapat meremukkan nilai-nilai budaya yang konon disebut lokal? Saat globalisasi menawarkan nilai universalitas, patut kita tanyakam otentisitas universalitas itu. Jangan-jangan yang tampak dan muncul ialah universalitas palsu dari ilusi-ilusi pencerahan yang menjebak.

Kebangkitan gerakan yang dikomandoi oleh nilai-nilai keluhuran islam – dalam hal ini termasuk KAMMI – di manapun justru semakin menguat dengan adanya pertarungan identitas. Globalisasi yang menjadi ikon negara-negara kapitalis mencoba mendesakkan diri ke negara-negara dunia ketiga. Ini bisa dipahami dari ungkapan Gerge Soros dalam bukunya The Age Fallibility : The Consequnces of the War on Terror[6] “…faktanya saya memang berperan di sejumlah peristiwa…dan juga yang lain. Yayasan-yayasan saya aktif di negara- negara yang membentuk bagian dari imperium Uni Soviet dan mendukung kekuatan-kekuatan yang mendorong perubahan-perubahan di negara itu menjadi masyarakat yang terbuka”.[7] Saat nilai-nilai lokal yang satu tak sanggup mengahadapi imperialisme modal itulah, nilai lokal mulai dicari. Saat mencari nilai-nilai lokal itu ternyata masyarakat islam yang termarginal untuk beberapa waktu menemukan islam sebagai satu kekuatan pendobrak globalisasi yang semena-mena; gerakan islam –salah satunya KAMMI – menemukan konteks untuk mengkonsolidasikan diri dalam kekuatan yang militan dan totalitas. Walaupun pada akhirnya sama saja, ketika – bisa jadi – KAMMI menemukan momentum dan kekutan penetrasi kepada kebudayaan superior ia pun menciptakan nilai-nilai Universalitas tersendiri yang dikomparasikan dengan kondisi lokal ke-Indonesia-an Indonesia.

Dan dalam teori perkembangan, siapa yang bisa menciptakan nilai-nilai Universal-Global, maka itulah yang akan melakukan dominasi. Ini yang saya sebut sebagai hadiah sejarah. Kalau kita membaca islam secara mendalam, ternyata ia cukup optimis untuk memproduksi nilai-nilai Universalitas yang lain dengan cara pandang islam; atau yang Sayyid Qutbh menyebutnya dengan Tasawur al Islam.[8] Nilai-nilai ini sangat berbeda dengan nilai-nilai Universalitas-Barat yang selama ini dikenal oleh banyak kalangan; seperti Demokrasi (yang dipahami secara semu), HAM, Humanisme, Pluralisme, Sekulerisme dan lain-lain.

Proses mereduksi nilai-nilai Universalitas-Barat hanya dapat terjadi dengan menguatkan nilai-nilai identitas islam sebagai sebuah identitas gerakan. Tidak sekedar islam sebagai kode etik atau moralitas, tapi sudah menjadi semacam ‘baju ideal’ yang tidak bisa dilepaskan dari kerangka-kerangka aktivitas gerakan.

Universalitas Barat : Sebuah Peringatan Peradaban

Wawasan para Orientalis tidak akan pernah cukup memadai untuk dapat mengkompromikan antara materi dan ruhani serta antara ilmu dan agama. Sedangkan gerakan islam – termasuk KAMMI  – meyakini bahwa seluruh aspek itu ditampilkan dengan penuh keseimbangan, harmoni dan fleksibelitas.[9] Lalu siapakah yang selama ini menyebut dirinya dengan ‘Universal yang mengglobal’ tanpa bukti yang kuat? Bukankah pembantaian di Irak adalah salah satu bukti terbuka yang membuktikan bahwa Universalitas perpektif Barat itu justru bersifat ‘lokal’? Dan bukankah pembunuhan massal serta pencaplokan tanah Palestina merupakan bukti kekerdilan universalitas Barat yang sangat tragis bagi dunia global, khususnya dunia islam?

Globaliasasi-Kapitaslis tidak akan pernah netral, karena Globaliasasi-Kapitaslis pada esensinya ialah ruang kekuasaan yang diciptakan oleh kekuatan imperialisme modal. Proses identifikasi yang kuatlah yang akan dapat memberikan kekuatan baru. Seperti saat islam muncul dalam budaya jahiliyah yang sudah sangat Universal pada masa lalu. Islam kemudian memproduksi nilai-nilai Universal yang lain walau kadang tidak harus baru. Dengan kata lain, perjuangan KAMMI atau mungkin gerakan islam yang lain saat ini idealnya adalah proses menggeser sentralisasi gagasan yang saat ini dimiliki oleh Barat. Politik identitas memberikan KAMMI keleluasan untuk menciptkan multipolar penafsiran terhadap nilai yang seharusnya diuniversal-kan.[10] Kolaborasi antara Universalitas Islam dengan Kebudayaan (tamadun) Lokal ke-Indonesia-an itulah yang akan menjadi lawan tangguh bagi identitas Barat jika memang identitas itu harus kita (rd. KAMMI)  lawan secara lantang. Pertanyaanya, apakah konfrontasi identitas akan menjadi seperti yang diramalkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization? Terlepas dari segala kelemahan tesisnya, ramalan Huntington dapat kita tafsirkan sebagai hasil proses identifikasi himpunan identitas-identitas yang memang senantiasa carut-marut.

Sebaliknya, apa yang terjadi di Barat saat ini, keangkuhan Barat terhadap islam muncul saat mereka melakukan identifikasi terhadap islam. Walau di sini harus kita cermati : Islam yang bagaimanakah yang diidentifikasikan oleh Barat untuk ia sandingbedakan dengan Barat? Apakah kesalahpahaman Barat yang terjadi selama ini karena proses identifikasi yang salah terhadap islam? Atau proses identifikasi yang dilakukan dengan kesadaran untuk menguatkan kekakuan dan superioritas nilai-nilai Global Barat?

Bagaiamana selanjutnya? Saya kira, itu terserah kader-kader KAMMI; karena saya hanya mengajak kader-kader KAMMI untuk berpikir mengenai sesuatu yang boleh jadi racunnya sudah berada di dalam benak ‘pola pikir’ bahkan dalam ‘cara kita beriman’. Dan karenanya ini bukanlah pemaksaan untuk mendialogkan sesuatu, tetapi lebih kepada – semacam – peringatan kecil atas kita semua bahwa ada yang harus dipikirkan oleh kader-kader KAMMI saat ini – selain merencanakan agenda-agenda social-politik yang sudah biasa dilakukan – tapi juga karena boleh jadi ke depan KAMMI akan dipertaruhkan dengan sesuatu yang di luar jangkauan akal kecil kita saat ini, yaitu Dialog Global menuju perebutan Identitas Publik Global. Dan saya kira inilah yang akan KAMMI hadapi ke depan.


KAMMI dan Cita Merebut Identitas Global

Pada perbincangan global, globalisasi sering diidentikkan dengan sebuah pemikiran ideologi Kapitaslisme yang komprehenship dan meliputi segenap aspek kehidupan, meskipun aspek yang menonjol adalah ekonomi. Globalisasi bagi sebagian orang merupakan serangan total peradaban kapitalis yang melanda seluruh pelosok dunia – termasuk dunia islam – dan merupakan serangan yang sangat ganas dan mematikan dengan senjata kapital untuk melumpuhkan seluruh bangsa di dunia, termasuk kaum muslimin.

Sebelum terlalu jauh memberikan penjelasan mengenai impian KAMMI untuk merebut identitas global, saya terlebih dulu untuk menjelaskan globalisasi dari sisi yang lain. Kata globalisasi diambil dari kata global, yang berarti universal. Jika kita memahami kata ini, maka ia termasuk frase yang bebas nilai; ia akan mempunyai arti yang relatif. Kebalikan dari pemaknaan ini adalah ketika kita mendefenisikan Muslim Negarawan. Ia hanya bisa didefenisikan secara pasti oleh yang memunculkan istilah itu. Globalisasi juga demikian. Jika kita menggabungkan frase ini dengan frase lain maka maknanya pun akan berubah. Sebagai contoh, Globalisasi-Kapitaslisme. Secara sederhana bisa diartikan sebagai proses menggelobalkan Kapitalisme. Jadi, globalisasi kapitalisme maksudnya adalah universalisasi ideologi kapitaslis atau men-dunia-kan kapitalisme. Contoh lain, Globalisasi Islam berarti sebuah proses pengglobalan islam atau yamg saya sebut dengan pembumiaan islam.

Sebagai ideologi, kapitalisme memiliki azas dan metode. Azas atau bisa disebut juga sebagai landasan dari kapitalisme adalah sekulerisme, yaitu sebuah pemahaman yang memisahkan antara agama dari kehidupan; tepatnya kehidupan publik. Artinya, kapitalisme percaya bahwa Tuhan itu ada dan menciptakan dan menurunkan wahyu; tetapi itu hanya untuk mengurusi agenda-agenda keagamaan. Dan karenanya, ia tidak bisa dibawa ke dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya atau aspek-aspek publik lainnya. Ini juga bermakna bahwa agama hanya mengatur urusan antara manusia dengan Tuhannya, dan sama sekali cukup di situ dan ‘haram’ untuk mengurusi yang lain.

Lalu bagaimana dengan cita KAMMI untuk merebut identitas global? Globalisasi yang dipahami oleh KAMMI adalah globalisasi islam. Dalam kerangka filosofis gerakannya KAMMI memahami bahwa islam adalah aturan Universal yang bisa menjangkau dunia. Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak terbatasi. Globalisasi islam adalah proses menggelobalkan nilai-nilai Universalitas, seperti Toleransi, Kebersamaan, Keadilan, Kesatuan, Musyawarah dan masih banyak hal yang tidak cukup diungkapkan di coretan sederhana ini. Bagi KAMMI standarnya bukanlah pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik dan keserakahan budaya yang dikemas atas nama HAM yang beraroma kepentingan. Karena fatsunnya adalah Liberasi dan Humanisasi yang dibingkai oleh nilai-nilai Transendensional. Begitulah Allah mengisyaratkan dalam Qs. Ali Imran : 110.

Dalam konteks ini, maka paling tidak ada beberapa hal yang harus diagendakan – ditegaskan – oleh KAMMI.

Pertama; Penguasaan atas Referensi utama keislaman.

Jika membaca kisah kenabian Muhamad dan setelahanya ternyata ia banyak bercerita bagaimana islam itu berkembang pesat. Dan yang menjadi energi tangguh yang menjadi tolak ukur kemajuan itu adalah penguasaan atas referensi utama keislaman. Coba kita bayangkan bagaimana cerdasnya ‘Aisyah yang bisa menjadi referensi para sahabat yang lain ketika Rasulullah meninggal.[11] ‘Aisyah menjadi referensi ilmu yang sangat luar biasa pada zamannya; padahal beliau umurnya baru sekitar 18 tahun. ‘Aisyah tentu tidak begitu saja menjadi referensi, tapi pasti adanya keakuan diri untuk memantapkan potensi ini dengan memanfaatkan peluang dan kesempatan ketika Rasulullah hidup sebagai Madrasah Peradabam.

Kemudian jika kita membaca perkembangan islam konteks hari ini, kita akan menghadapi banyak catatan penting. Kalau kita mencoba mencari alasan mengapa Iran itu ditakuti oleh ‘Barat’, salah satu alasannya karena ketegasan Iran dalam bersikap. Dan kerangka utama yang merangkai sikap ini adalah kultur intelektual yang ‘menjelajahi’ ruang-ruang pikiran orang-orang Iran terutama mahasiswanya. Sehingga ketika mereka mengeluarkan statement itu dengan teori-teori keilmuan yang realistis dengan kebutuhan zamannya. Penguasaan atas epistemologi islam bukan cerita kelam lagi, karena itu sudah menjadi identitas yang tak terbantahkan. Pengamat Sosial-Politik Islam Barat pun mengakui tesis ini. Terkait dengan hal ini, ada sesuatu yang menarik ketika kita mendalami sejarah kemajuan Iran.

Dalam perkembangannya, Ulama-ulama Iran atau yang sering dikenal dengan istilah Mullah ternayata memiliki peran yang sangat signifikan. Setelah jatuhnya pemerintahan Iran 1979, pengamat-pengamat politik Amerika memberikan pernyataan bahwa Iran akan hancur satu atau dua tahun lagi. Tapi kenyataannya melenceng dari persepsi-persepsi itu; sejarah bercerita lain. Salah satu ulama terkemuka Iran ketika mendengar itu justru mengeluarkan sebuah proposal – tepatnya buku – yang berjudul Dialog Peradaban.[12]

Pelajaran penting dari kisah ini bukan bermaksud mengajak kader-kader KAMMI untuk berdiskusi tentang aliran syi’ah atau maksud lain; yang menjadi catatan penting adalah bahwa dalam dunia yang penuh dengan kreasi ini, penuh dengan tantangan yang mengglobal seperti saat ini, yang harus kita lakukan adalah merasionalisasikan pemahaman yang kita yakini dengan cara-cara terbuka yang dilandasai oleh ‘penguasaan’ atas ilmu pengetahuan atau yang saya sebut dengan kesiapan untuk ‘mendialogkan islam’ secara global. Sehingga ketika ketika melangkah itu dengan kepastian; ketika bersikap itu dengan ketegasan tanpa ragu sedikitpun. Dan peran ‘berani tampil’ ini merupakan langkah cerdas yang lebih kontekstual dengan kondisi manusia saat ini. Karena tampilannya adalah tampilan atas bingkai kewarasan intelektual; tentu moral adalah amunisi lain yang tidak boleh dilupakan. Dan untuk selanjutnya, biarlah dunia menonton dan segera menjadikan islam sebagai referensi secara global. Itu yang pertama. 

Kedua; Kesatuan Kepemimpinan.

Kalau menbaca tulisan terkait dengan ‘Kesatuan Kepemimpinan’ saya teringat dengan salah satu Prinsip Gerakan KAMMI yang sering dilontarkan oleh kader-kader KAMMI ‘Kepemimpinan Umat adalah Strategi Perjuangan KAMMI’. Saya tidak berpengetahuan untuk menafsirkan – meminjam istilah Akbar Zulfakar – manifesto ini, karena takut dan khawatir tidak sesuai dengan makna orsinal sebagaimana dicetuskan oleh Ideolog-ideolog KAMMI pada awal-awal pendirian KAMMI di seantero Indonesia. Tapi saya ingin mengajak kita untuk masuk ke dalam ‘ruang’ yang sama dengan ‘pintu’ yang berbeda.

Kalau kita melihat perkembangan Iran, maka kita tidak hanya bercibaku dengan Mahmud Ahmadinejad; seorang Presiden Iran abad 21 yang begitu kontroversial di mata pemimpin dunia, utamanya oleh negara-negara Barat – tepatnya George Bush. Karena jika kita membaca secara mendalam kepemimpinan Ahmadinejad – panggilan akrab Mahmud Ahmadinejad – di Iran itu bukan hanya karena faktor dia, tapi yang paling penting adalah kepemimpinan para ulama yang mampu mengkrasikan pikiran-pikiran rakyat Iran, sehingga menakutkan Barat. Karena bagi rakyat (red. sebagian besar rakyat) Iran ketaatan terhadap ulama adalah sesuatu yang sangat penting dan sakral. Sehingga statement ulama adalah seruan yang bisa membuat ‘kuping Barat’ menjadi merah dan panas. Dan di antara kecerdasan Mahmud Ahmadinejad adalah kekuatan akomodatif terhadap gagasan-gagasan para ulama dan para cendikiawan muslim yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang; sebuah energi besar yang mengokohkan dia dalam spekulasi kepemimpinan global.

Nah, menurut saya KAMMI harus mengambil peran ini. Bagi KAMMI menjadi ulama itu tidak harus ’pergi naik haji’, tidak selalu dipahami bertopi putih dan lain-lain. Bagi KAMMI, ulama adalah manusia-manusia yang mampu memerdekakan umatnya dari belenggu kapitalis, kejahatan penguasa tak merakyat dan lain-lain. Karena ’amar ma’ruf nahyi mungkar bagi KAMMI bukan sekedar menyuruh orang untuk melaksanakan ibadah mahdhoh, tapi juga menyadarkan umat untuk memperoleh hak-haknya dari kebijakan yang anti rakyat dan tidak selogika dengan logika ’perut rakyat’.

Mengapa KAMMI harus menegaskan ini. Ini dilakukan bukan tak beralasan.  Tapi KAMMI menegaskan ini karena jika kita melihat realitanya di Indonesia, ulama itu sering tidak didengar; untuk hal ini banyak kasus yang menjadi contohnya. Sebaliknya orang-orang yang disebut Cendikiawan sering didengar walaupun banyak hal yang perlu dipertentangkan. Ya begitulah kondisinya. Untuk itu, sekali lagi, KAMMI harus mampu mensiasati kondisi ini.

Ketiga; Penguatan Diplomasi dan Jaringan

Kalau kita membaca sejarah kenabian Muhamad, maka kita akan mendapatkan catatan penting bahwa kekuatan jaringan dan masifikasi diplomasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dengan dua kekuatan ini Rasulullah mampu membangun sebuah peradaban besar sampai Madinah. Beliau menjalin hubungan politis, ekonomis dan lintas budaya dengan berbagai suku dan tokoh-tokoh yang ada. Catatan ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang manusia yang sangat unggul dalam kancah diplomatik untuk mengglobalkan islam. Di mana kemudian kita bisa melihat bagaimana islam itu berkembang dan diakui bahkan diyakini oleh banyak manusia sebagai satu-satunya ‘dien’ yang mampu menyeting peradaban dalam waktu yang cukup lama.

Dalam konteks ke-kini-an terkait dengan bacaan KAMMI terhadap realits dunia saat ini, kaitannya dengan cita-cita merebut identitas global dengan Islam, maka menurut saya hal ini menjadi penting dan harus menjadi pikiran kader-kader KAMMI. Terkait dengan hal ini, saya memiliki firsasat bahwa KAMMI memang harus memulai merambah ke ranah-ranah ini; dan terkait dengan kekuatan diplomasi dan jaringan, kemampuan berbahasa asing merupakan sesuatu yang sangat penting. Terkait hal ini saya merasa sangat bangga dengan diadakannya Lomba Debat Bahasa Arab se-Asean pada pertengahan Juli 2007 lalu di Malaysia yang diselenggarakan oleh Universitas Sains Islam Malaysia dengan tema “Menjadikan Bahasa Arab sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan dan Diplomasi”.[13]

Ini merupakan awalan bagi gerakan pemuda dan mahasiswa islam Asia Tenggara untuk menunjukkan identitas peradaban (tamadun) yang telah lama atau paling tidak sering dilupakan. Walaupun saya merasa bahwa Indonesia masih perlu penegasan identitas. Ini juga menunjukkan bahwa ke depan kader-kader KAMMI harus mau melakukan komunikasi terbuka dengan gerakan pemuda dan mahasiswa muslim di tingkat dunia. Jadi, ada semacam ‘dialog intern gerakan pemuda dan mahasiswa muslim’, dan KAMMI harus mengambil bagian.

Penutup 

Setiap masyarakat dan peradaban memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Kedudukan nilai dalam sebuah masyarakat atau dalam tatanan global sekalipun bukan sekedar sebagai pemandu tetapi juga sebagai pemberi arti bagi kreativitas yang dilakukan. Nilai yang mengahrmonisasikan pluraslitas atau keragaman yang terdapat dalam sebuah masyarakat – seharusnya – menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Posisi nilai yang begitu penting, maka ia selalu menjadi motivator dan melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidup pengusungnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi energi yang mendorong seseorang atau sebuah komunitas untuk selalu bertekad dalam menegakkan dan bahkan membelanya.

Tentu dalam konteks KAMMI, identitas nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai ke-Universalitas-an islam. Ketegasan untuk mendialogkan islam ini secara terbuka dan mengglobal adalah ujian sekaligus pilihan gerakan yang harus KAMMI pilih. Inilah keberanian yang satu kamar dengan ujian gerakan; uji kelayakan gerakan; sebuah pertanyaan yang menghantui ‘apakah KAMMI bagian dari gerakan global atau hanya anak tiri gerakan lokal yang seakan-akan mendunia?’ Ataukah KAMMI merupakan bagian dari komunitas yang anti globalisasi tanpa argumentasi? Sekedar mengulangi apa yang sudah saya sampaikan di awal tulisan ini, saya pikir demi kepentingan aksi dan kreasi-kreasi jangka panjang yang lebih substansial, KAMMI harus memahami globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat pada satu pihak. Adalah terlalu optimis jika KAMMI melihat dunia sebagai satu kesatuan, sebagaimana Barat menginginkan itu atas nama HAM atau istilah ‘kerdil’ lainnya. Tanpa bermaksud mengadvokasi kelemahan-kelemahan globalisasi – terutama yang memakai baju kapitalis – namun atas nama masa depan yang lebih baik, KAMMI sepertinya tetap punya alasan bahkan banyak alasan untuk bisa menikmati globalisasi. 

Selain itu, tulisan ini ingin menegaskan identitas KAMMI sebagai salah satu gerakan mahasiswa muslim yang tidak dilahirkan atas dasar kepentingan lokal semata, tapi gerakan islam yang disemai oleh gerakan global; lebih tepatnya saya sebut dengan Gerakan Transnasional. Di sini jugalah maksud sebuah impian bahwa KAMMI harus mampu bergerak menempuh jalan-jalan sunyi dan kerja-kerja peradaban. Lalu, dengan siapa KAMMI menempuh itu? Apakah KAMMI mampu berjalan dengan kader hasil ‘didikan’ KAMMI? Saya mungkin tidak bertanggungjawab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini; tapi ada harapan besar bahwa mudah-mudahan dalam tulisan ini ada ‘gagasan’ cerdas yang tidak membunuh masa depan KAMMI, sebaliknya, tulisan ini diharapkan menjadi pemicu bagi kader-kader KAMMI untuk merancang lebih dini gerakannya dengan setingan idealis masa depan yang kontributif dan mendunia; atau jika tidak biarlah tulisan ini hanya menjadi bacaan yang perlu dikritik atau dibuang di bak sampah saja, semoga!


[1] Bahan Diskusi di Markaz Dakwah, Kostan as Syuhada Permai – Cipadung Cibiru, Kota Bandung (Sabtu; 24 Ramadhon 1427 H)

[2] Lebih jelasnya silahkan baca IBHAR Edisi 2/Februari/2006 (hal.23)

[3] Istlah lainnya adalah Halaqoh Gerakan, Halaqoh Ideolog atau istilah lain yang sudah menjadi bahasa harian kader-kader KAMMI

[4] Lebih jelasnya silahkan baca bukunya Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru : Peran Negara dalam Pembangunan (2004)

[5] Lebih jelasnya silahkan baca buku The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (Penerbit Qolam, 2004)

[6] Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Pusat Data dan Analisa Tempo (2006) dengan judul ‘Zaman Kenisbian : Konekwensi Perang terhadap Teror’.

[7] Lebih jelasnya silahkan baca dalam ‘Zaman Kenisbian : Konekwensi Perang terhadap Teror’ (2006 : IX)

[8] Naquib Al Attas menyebutnya dengan Worlvew Islam.

[9] Demikianlah isyarat Allah dalam Qs. Ar Ruum : 30

[10] Yang saya maksud adalah proses membumikan nilai-nilai islam

[11] ‘Aisyah dinikahi oleh Rasulullah ketika berumur 9 tahun. Mengenai umurnya, masih diperbincangkan oleh beberapa kalangan, antara apakah ketika berumur 9 atau 12 tahun.

[12] Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa negara. Di Indonesia buku ini diterbitkan oleh Mizan dengan judul : Dialog Peradaban.

[13] Indonesia diwakili oleh UIN Jakarta dan UIN Malang dengan prestasi juara III, setelah dikalahkan oleh ‘utusan’ kawakan intelektual muslim dari Universitas Islam Antara Bangsa atau yang kita kenal dengan Islamic International Univercity Malaysia (IIUM) yang sudah biasa dengan belasan bahasa Asing, tak terkecuali Bahasa Arab, Inggris, Mandarin.

Hello world!

Filed under: Uncategorized — tintasejarah @ 3:33 pm

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Blog di WordPress.com.