GLOBALISASI DALAM WACANA GERAKAN KAMMI
(Titik Merentas Paradigma Profetik Kader KAMMI)
Prolog
Sebelumnya di sini perlu saya jelaskan bahwa tulisan ini ingin menawarkan kesempatan merenung, memberi ruang untuk berpikir lebih dalam mengenai ruang identitas tentang tantangan dan ancaman masa sekarang dan pada masa yang akan datang bagi dunia islam; dan bagi saya Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (selanjutnya disingkat KAMMI) harus bertanggungjawab mengenai kondisi ini. Bukan karena apa-apa; tapi karena menurut saya – meminjam istilah Rizalul Imam dalam IBHAR – ‘kelahiran KAMMI di akhir kekuasaan Soeharto tidak muncul secara tiba-tiba. KAMMI adalah bagian dari rencana gerakan yang dibangun oleh arus kebangkitan dunia islam’, dan secara khusus di Indonesia.
Perkembangan peran-peran KAMMI dalam perbaikan negara dan masyarakat semakin menuai hasil, terutama dalam pembentukan pandangan publik yang islami’. Tesis ini memang seakan tidak populer; terlebih jika tidak ditopang oleh contoh nyata dalam realita kebangsaan. Atau dalam istilah lain, tesis ini hanyalah mimpi yang tidak realistis. Apapun sanggahannya, saya ingin mengatakan dalam angan kecil bahwa ada semacam gerakan gugatan besar yang menyebabkan KAMMI lahir; dan karena itu pulalah KAMMI bisa menuai – walaupun – sedikit hasil. Di antara alasan yang memperkuat argumentasi ini adalah sebuah analog sederhana “bayi kecil tidak akan bisa bicara lantang segema KAMMI pada tahun 1998 jika tidak ada ibu yang melahirkannya”.
Pada coretan ini saya tidak mengajak kita untuk ribut mendialog atau mendiskusikan dasar filosofis kehadiran KAMMI di ruang teduh Indonesia, tapi ingin mencoba menakar sebuah materi objek global yang kini sering didialogkan oleh banyak kalangan; yaitu Globalisasi. Pergulatan ini tentunya tidak bermaksud mengajak KAMMI untuk mendialogkan sesuatu yang mengawang-awang, tetapi menurut saya ini adalah hal penting yang harus mulai dirambah oleh ‘otak-otak’ kader KAMMI, terutama jika kepekaan KAMMI terhadap realita kreasi dunia – terutama Indonesia – ke depan dijawab dengan Muslim Negarawan dengan berbagai macam penjelasan dan penafsirannya. Berbicara tentang globalisasi dan gerakan islam, yang terlintas dalam benak kita adalah pertama bisa jadi kesan pertentangan dan pertarungan, ada hitam dan ada putih. Tidak ada wilayah abu-abu. Dalam konteks ini saya tidak bergulat untuk itu. Karena dalam hal ini, saya tertarik untuk memasukkan diri dalam ‘ruang’ pembicaraan yang lebih substansial; yaitu globalisasi dalam konteks identitas. Bagaimana perebutan identitas terjadi dalam lapangan kehidupan kita. Perebutan identitas itulah yang kemudian memproduksi banyak hal. Bagaimana kerinduan terhadap identitas terjadi dan menggerakkan hidup seseorang, komunitas atau bahkan peradaban global. Bahkan dalam galibnya terkadang ia dapat ditarik ulur dalam wilayah pencarian identitas personal. Identitas terhadap siapa dan apa? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan itu secara global; dan mudah-mudahan sistematis, semoga!
Globalisasi : Defenisi dan Dalam Kemasan Kritik
Terutama sejak 1990-an, wacana Globalisasi-Kapitaslime menghiasi kancah intelektual dunia, terutama Barat. Sebagian pihak menganggap globalisasi merupakan proses alamiyah dari kedinamisan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam perspektif demikian, setiap bangsa di dunia ini memang sudah seharusnya dan sewajarnya untuk hidup bersama-sama dan berpartisipasi aktif mengembangkan kehidupannya dalam wadah globalisasi.
Di sisi lain, banyak hal mengenai globalisasi ini yang menjadi bahan perdebatan para pakar. Mulai dari defenisi, realitasnya dari segi ‘apakah ia benar-benar terjadi’ ataukah sekedar rekayasa, kapan mulainya; apakah globalisasi menghasilkan perdebatan, apakah globalisasi mengekang keberadaan negara-bangsa atau bergerak demi memunculkan ketunggalan peradaban global? Terlepas dari hiruk-pikuk yang mendialogkan itu, sebenarnya sangat sulit untuk menempatkan globalisasi dalam satu kerangka intelektual yang homogen. Karena jangankan para pakar, saya dan kader-kader KAMMI yang lain boleh jadi mengalami perdebatan yang mengasikkan – atau semacam sakit otak – mengenai hal ini. Apalagi dengan keragaman referensi dan cara berpikir kader KAMMI yang butuh kesabaran untuk ‘mendengarkannya’.
Karena itu, sebelum terlalu jauh memberikan defenisi ‘globalisasi’, saya ingin minta izin – tepatnya minta maaf – ke kader-kader KAMMI; biar jika tulisan ini nanti ada yang kurang bijak atau kurang sesuai dengan cara berpikir kader-kader KAMMI; tidak banyak menyesatkan pikiran holistik yang sudah mapan dan sejak lama disuap melalui rahim kaderisasi KAMMI; Madrasah KAMMI. Mohon diizinkan!
Globalisasi : Perihal Defenisi
Budi Winarno (2004 : 37) melihat bahwa dalam banyak defenisi, terutama yang berangkat dari kaum globalis, konsep globalisasi merujuk pada fenomena di mana batas-batas negara bangsa tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Hal ini ditandai dengan banyaknya persoalan kontemporer yang tidak dapat dipelajari secara memadai hanya pada tingkatan Negara-Bangsa, dalam arti masing-masing Negara-Bangsa dan hubungan-hubungan internasional. Sebagai gantinya, persoalan-persoalan kontenporer harus diapahmi sebagai bagian dari proses global, yang banyak dipengaruhi kekuatan-kekuatan global di luar negeri Negara-Bangsa, seperti perusahan-perusahan transnasional, lembaga-lembaga ekonomi global, budaya global, pengglobalan berbagai macam ide dan ideologi dari berbagai macam tipe atau kombinasi dari semua itu.
Namun demikian, Winarno (2004 : 39) juga mencatat adanya tiga hal yang sering kita temukan dalam pendefenisian globalisasi, yaitu : kesalinghubungan, integrasi, dan kesalingterkaitan. Masalah kesalinghubungan bisa dilihat dari defenisi globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling berhubungan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Atau dalam defenisi lain, sebagai proses munculnya masyarakat global yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik, dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembaga-lembaga politik dunia.
Globalisasi sebagai Peristiwa Sejarah
Dalam konteks ini, globalisasi merupakan suatu periode tertentu dalam sejarah, bukannya suatu fenomena sosiologis atau kerangka teoritis. Ia dimulai dengan menurunnya ketegangan kutub Politik Barat dan Timur serta berakhirnya perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin. Globalisasi adalah fase sejarah yang terjadi segera setelah Perang Dingin. Dalam hal ini globalisasi menurut M. Ramdhan Adi (2005 : 6) terikat oleh waktu.
Entah berkaitan atau tidak, tapi bisa dikatakan bahwa globalisasi merupakan lanjutan dari Perang Dingin, atau globalisasi bisa dianggap sebagai sebuah periode sejarah. Selanjutnya dari sisi ekonomi, globalisasi sebagai fenomena ekonomi Dalam konteks ekonomi, globalisasi disifati sebagai rangkaian fenomena ekonomi. Ia mencakup liberalisasi, privatisasi dan lain-lain. Lalu apa yang salah dengan globalisasi?
Globalisasi sebagai Hegemoni nilai-nilai Amerika
Cara terbaik untuk memahami defenisi Globalisasi – dalam hal ini konteksnya Kapitalisme – dalam konteks ini ialah dengan melihat buku karya Frances Fukuyama, The End of History and The Last Man. Akhir Perang Dingin merepresentasikan hasil dari pertarungan ideologis yang dimulai sejak usainya Perang Dunia II. Hal itu menandai difusi dan asimilasi kemampuan teknologi, Finansial dan institusi Barat – khususnya Amerika.
Dalam defenisi ini, globalisasi secara normatif adalah sesuatu yang baik, yang mempresentasikan kemenangan modernisasi dan demokrasi yang didefenisikan sebagai pembangunan ekonomi industri yang melibatkan karakteristik keterlibatan aparat negara yang terbatas, konsep perwakilan dalam pemerintahan dan konsep kebebasan dalam kehidupan. Tetapi jika kita melihat realitasnya, globalisasi adalah fenomena yang membahayakan. Itu kata sebagian pakar dan penggiat dialog global.
Sebelum terlalu jauh memberikan penjelasan, saya ingin mengajak kita ke dalam kerangka berpikir yang berbeda. Saya pikir demi kepentingan aksi dan kreasi-kreasi jangka panjang yang lebih substansial, KAMMI harus memahami globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat pada satu pihak. Adalah terlalu optimis jika KAMMI melihat dunia sebagai satu kesatuan. Tanpa bermaksud mengadvokasi kelemahan-kelemahan globalisasi – terutama yang memakai baju kapitalis – namun atas nama masa depan yang lebih baik, KAMMI sepertinya tetap punya alasan bahkan banyak alasan untuk bisa menikmati globalisasi. Salah satunya dalam konteks gerakan Transnasional berbasis islam.
Globalisasi dalam Ruang Kritik
Setelah kita mendapatkan sekelumit pemahaman tentang globalisasi, mari kita meloncat ke pembahasan yang lebih menantang. Dalam sejarahnya kita bisa memahami bahwa identitas islam lahir dan kian menguat saat ada pemaknaan terhadap ‘yang lain’ yang semakin kuat dan asing. Nilai-nilai asing yang semula asing itu pun secara tidak langsung menguatkan nilai identifikasi umat islam terhadap dirinya. Entitas bukanlah kekuatan yang cukup untuk membendung globalisasi yang dimaknai sebagai nilai ‘yang lain’. Entitas tak selalu punya kuasa untuk menegasikan globalisasi yang konon memiliki kecepatan informasi dan kekuatan modal dalam sekejab. Pertanyaannya, apakah nilai-nilai Globalisasi-Kapitaslisme dapat meremukkan nilai-nilai budaya yang konon disebut lokal? Saat globalisasi menawarkan nilai universalitas, patut kita tanyakam otentisitas universalitas itu. Jangan-jangan yang tampak dan muncul ialah universalitas palsu dari ilusi-ilusi pencerahan yang menjebak.
Kebangkitan gerakan yang dikomandoi oleh nilai-nilai keluhuran islam – dalam hal ini termasuk KAMMI – di manapun justru semakin menguat dengan adanya pertarungan identitas. Globalisasi yang menjadi ikon negara-negara kapitalis mencoba mendesakkan diri ke negara-negara dunia ketiga. Ini bisa dipahami dari ungkapan Gerge Soros dalam bukunya The Age Fallibility : The Consequnces of the War on Terror “…faktanya saya memang berperan di sejumlah peristiwa…dan juga yang lain. Yayasan-yayasan saya aktif di negara- negara yang membentuk bagian dari imperium Uni Soviet dan mendukung kekuatan-kekuatan yang mendorong perubahan-perubahan di negara itu menjadi masyarakat yang terbuka”. Saat nilai-nilai lokal yang satu tak sanggup mengahadapi imperialisme modal itulah, nilai lokal mulai dicari. Saat mencari nilai-nilai lokal itu ternyata masyarakat islam yang termarginal untuk beberapa waktu menemukan islam sebagai satu kekuatan pendobrak globalisasi yang semena-mena; gerakan islam –salah satunya KAMMI – menemukan konteks untuk mengkonsolidasikan diri dalam kekuatan yang militan dan totalitas. Walaupun pada akhirnya sama saja, ketika – bisa jadi – KAMMI menemukan momentum dan kekutan penetrasi kepada kebudayaan superior ia pun menciptakan nilai-nilai Universalitas tersendiri yang dikomparasikan dengan kondisi lokal ke-Indonesia-an Indonesia.
Dan dalam teori perkembangan, siapa yang bisa menciptakan nilai-nilai Universal-Global, maka itulah yang akan melakukan dominasi. Ini yang saya sebut sebagai hadiah sejarah. Kalau kita membaca islam secara mendalam, ternyata ia cukup optimis untuk memproduksi nilai-nilai Universalitas yang lain dengan cara pandang islam; atau yang Sayyid Qutbh menyebutnya dengan Tasawur al Islam. Nilai-nilai ini sangat berbeda dengan nilai-nilai Universalitas-Barat yang selama ini dikenal oleh banyak kalangan; seperti Demokrasi (yang dipahami secara semu), HAM, Humanisme, Pluralisme, Sekulerisme dan lain-lain.
Proses mereduksi nilai-nilai Universalitas-Barat hanya dapat terjadi dengan menguatkan nilai-nilai identitas islam sebagai sebuah identitas gerakan. Tidak sekedar islam sebagai kode etik atau moralitas, tapi sudah menjadi semacam ‘baju ideal’ yang tidak bisa dilepaskan dari kerangka-kerangka aktivitas gerakan.
Universalitas Barat : Sebuah Peringatan Peradaban
Wawasan para Orientalis tidak akan pernah cukup memadai untuk dapat mengkompromikan antara materi dan ruhani serta antara ilmu dan agama. Sedangkan gerakan islam – termasuk KAMMI – meyakini bahwa seluruh aspek itu ditampilkan dengan penuh keseimbangan, harmoni dan fleksibelitas. Lalu siapakah yang selama ini menyebut dirinya dengan ‘Universal yang mengglobal’ tanpa bukti yang kuat? Bukankah pembantaian di Irak adalah salah satu bukti terbuka yang membuktikan bahwa Universalitas perpektif Barat itu justru bersifat ‘lokal’? Dan bukankah pembunuhan massal serta pencaplokan tanah Palestina merupakan bukti kekerdilan universalitas Barat yang sangat tragis bagi dunia global, khususnya dunia islam?
Globaliasasi-Kapitaslis tidak akan pernah netral, karena Globaliasasi-Kapitaslis pada esensinya ialah ruang kekuasaan yang diciptakan oleh kekuatan imperialisme modal. Proses identifikasi yang kuatlah yang akan dapat memberikan kekuatan baru. Seperti saat islam muncul dalam budaya jahiliyah yang sudah sangat Universal pada masa lalu. Islam kemudian memproduksi nilai-nilai Universal yang lain walau kadang tidak harus baru. Dengan kata lain, perjuangan KAMMI atau mungkin gerakan islam yang lain saat ini idealnya adalah proses menggeser sentralisasi gagasan yang saat ini dimiliki oleh Barat. Politik identitas memberikan KAMMI keleluasan untuk menciptkan multipolar penafsiran terhadap nilai yang seharusnya diuniversal-kan. Kolaborasi antara Universalitas Islam dengan Kebudayaan (tamadun) Lokal ke-Indonesia-an itulah yang akan menjadi lawan tangguh bagi identitas Barat jika memang identitas itu harus kita (rd. KAMMI) lawan secara lantang. Pertanyaanya, apakah konfrontasi identitas akan menjadi seperti yang diramalkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization? Terlepas dari segala kelemahan tesisnya, ramalan Huntington dapat kita tafsirkan sebagai hasil proses identifikasi himpunan identitas-identitas yang memang senantiasa carut-marut.
Sebaliknya, apa yang terjadi di Barat saat ini, keangkuhan Barat terhadap islam muncul saat mereka melakukan identifikasi terhadap islam. Walau di sini harus kita cermati : Islam yang bagaimanakah yang diidentifikasikan oleh Barat untuk ia sandingbedakan dengan Barat? Apakah kesalahpahaman Barat yang terjadi selama ini karena proses identifikasi yang salah terhadap islam? Atau proses identifikasi yang dilakukan dengan kesadaran untuk menguatkan kekakuan dan superioritas nilai-nilai Global Barat?
Bagaiamana selanjutnya? Saya kira, itu terserah kader-kader KAMMI; karena saya hanya mengajak kader-kader KAMMI untuk berpikir mengenai sesuatu yang boleh jadi racunnya sudah berada di dalam benak ‘pola pikir’ bahkan dalam ‘cara kita beriman’. Dan karenanya ini bukanlah pemaksaan untuk mendialogkan sesuatu, tetapi lebih kepada – semacam – peringatan kecil atas kita semua bahwa ada yang harus dipikirkan oleh kader-kader KAMMI saat ini – selain merencanakan agenda-agenda social-politik yang sudah biasa dilakukan – tapi juga karena boleh jadi ke depan KAMMI akan dipertaruhkan dengan sesuatu yang di luar jangkauan akal kecil kita saat ini, yaitu Dialog Global menuju perebutan Identitas Publik Global. Dan saya kira inilah yang akan KAMMI hadapi ke depan.
KAMMI dan Cita Merebut Identitas Global
Pada perbincangan global, globalisasi sering diidentikkan dengan sebuah pemikiran ideologi Kapitaslisme yang komprehenship dan meliputi segenap aspek kehidupan, meskipun aspek yang menonjol adalah ekonomi. Globalisasi bagi sebagian orang merupakan serangan total peradaban kapitalis yang melanda seluruh pelosok dunia – termasuk dunia islam – dan merupakan serangan yang sangat ganas dan mematikan dengan senjata kapital untuk melumpuhkan seluruh bangsa di dunia, termasuk kaum muslimin.
Sebelum terlalu jauh memberikan penjelasan mengenai impian KAMMI untuk merebut identitas global, saya terlebih dulu untuk menjelaskan globalisasi dari sisi yang lain. Kata globalisasi diambil dari kata global, yang berarti universal. Jika kita memahami kata ini, maka ia termasuk frase yang bebas nilai; ia akan mempunyai arti yang relatif. Kebalikan dari pemaknaan ini adalah ketika kita mendefenisikan Muslim Negarawan. Ia hanya bisa didefenisikan secara pasti oleh yang memunculkan istilah itu. Globalisasi juga demikian. Jika kita menggabungkan frase ini dengan frase lain maka maknanya pun akan berubah. Sebagai contoh, Globalisasi-Kapitaslisme. Secara sederhana bisa diartikan sebagai proses menggelobalkan Kapitalisme. Jadi, globalisasi kapitalisme maksudnya adalah universalisasi ideologi kapitaslis atau men-dunia-kan kapitalisme. Contoh lain, Globalisasi Islam berarti sebuah proses pengglobalan islam atau yamg saya sebut dengan pembumiaan islam.
Sebagai ideologi, kapitalisme memiliki azas dan metode. Azas atau bisa disebut juga sebagai landasan dari kapitalisme adalah sekulerisme, yaitu sebuah pemahaman yang memisahkan antara agama dari kehidupan; tepatnya kehidupan publik. Artinya, kapitalisme percaya bahwa Tuhan itu ada dan menciptakan dan menurunkan wahyu; tetapi itu hanya untuk mengurusi agenda-agenda keagamaan. Dan karenanya, ia tidak bisa dibawa ke dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya atau aspek-aspek publik lainnya. Ini juga bermakna bahwa agama hanya mengatur urusan antara manusia dengan Tuhannya, dan sama sekali cukup di situ dan ‘haram’ untuk mengurusi yang lain.
Lalu bagaimana dengan cita KAMMI untuk merebut identitas global? Globalisasi yang dipahami oleh KAMMI adalah globalisasi islam. Dalam kerangka filosofis gerakannya KAMMI memahami bahwa islam adalah aturan Universal yang bisa menjangkau dunia. Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak terbatasi. Globalisasi islam adalah proses menggelobalkan nilai-nilai Universalitas, seperti Toleransi, Kebersamaan, Keadilan, Kesatuan, Musyawarah dan masih banyak hal yang tidak cukup diungkapkan di coretan sederhana ini. Bagi KAMMI standarnya bukanlah pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik dan keserakahan budaya yang dikemas atas nama HAM yang beraroma kepentingan. Karena fatsunnya adalah Liberasi dan Humanisasi yang dibingkai oleh nilai-nilai Transendensional. Begitulah Allah mengisyaratkan dalam Qs. Ali Imran : 110.
Dalam konteks ini, maka paling tidak ada beberapa hal yang harus diagendakan – ditegaskan – oleh KAMMI.
Pertama; Penguasaan atas Referensi utama keislaman.
Jika membaca kisah kenabian Muhamad dan setelahanya ternyata ia banyak bercerita bagaimana islam itu berkembang pesat. Dan yang menjadi energi tangguh yang menjadi tolak ukur kemajuan itu adalah penguasaan atas referensi utama keislaman. Coba kita bayangkan bagaimana cerdasnya ‘Aisyah yang bisa menjadi referensi para sahabat yang lain ketika Rasulullah meninggal. ‘Aisyah menjadi referensi ilmu yang sangat luar biasa pada zamannya; padahal beliau umurnya baru sekitar 18 tahun. ‘Aisyah tentu tidak begitu saja menjadi referensi, tapi pasti adanya keakuan diri untuk memantapkan potensi ini dengan memanfaatkan peluang dan kesempatan ketika Rasulullah hidup sebagai Madrasah Peradabam.
Kemudian jika kita membaca perkembangan islam konteks hari ini, kita akan menghadapi banyak catatan penting. Kalau kita mencoba mencari alasan mengapa Iran itu ditakuti oleh ‘Barat’, salah satu alasannya karena ketegasan Iran dalam bersikap. Dan kerangka utama yang merangkai sikap ini adalah kultur intelektual yang ‘menjelajahi’ ruang-ruang pikiran orang-orang Iran terutama mahasiswanya. Sehingga ketika mereka mengeluarkan statement itu dengan teori-teori keilmuan yang realistis dengan kebutuhan zamannya. Penguasaan atas epistemologi islam bukan cerita kelam lagi, karena itu sudah menjadi identitas yang tak terbantahkan. Pengamat Sosial-Politik Islam Barat pun mengakui tesis ini. Terkait dengan hal ini, ada sesuatu yang menarik ketika kita mendalami sejarah kemajuan Iran.
Dalam perkembangannya, Ulama-ulama Iran atau yang sering dikenal dengan istilah Mullah ternayata memiliki peran yang sangat signifikan. Setelah jatuhnya pemerintahan Iran 1979, pengamat-pengamat politik Amerika memberikan pernyataan bahwa Iran akan hancur satu atau dua tahun lagi. Tapi kenyataannya melenceng dari persepsi-persepsi itu; sejarah bercerita lain. Salah satu ulama terkemuka Iran ketika mendengar itu justru mengeluarkan sebuah proposal – tepatnya buku – yang berjudul Dialog Peradaban.
Pelajaran penting dari kisah ini bukan bermaksud mengajak kader-kader KAMMI untuk berdiskusi tentang aliran syi’ah atau maksud lain; yang menjadi catatan penting adalah bahwa dalam dunia yang penuh dengan kreasi ini, penuh dengan tantangan yang mengglobal seperti saat ini, yang harus kita lakukan adalah merasionalisasikan pemahaman yang kita yakini dengan cara-cara terbuka yang dilandasai oleh ‘penguasaan’ atas ilmu pengetahuan atau yang saya sebut dengan kesiapan untuk ‘mendialogkan islam’ secara global. Sehingga ketika ketika melangkah itu dengan kepastian; ketika bersikap itu dengan ketegasan tanpa ragu sedikitpun. Dan peran ‘berani tampil’ ini merupakan langkah cerdas yang lebih kontekstual dengan kondisi manusia saat ini. Karena tampilannya adalah tampilan atas bingkai kewarasan intelektual; tentu moral adalah amunisi lain yang tidak boleh dilupakan. Dan untuk selanjutnya, biarlah dunia menonton dan segera menjadikan islam sebagai referensi secara global. Itu yang pertama.
Kedua; Kesatuan Kepemimpinan.
Kalau menbaca tulisan terkait dengan ‘Kesatuan Kepemimpinan’ saya teringat dengan salah satu Prinsip Gerakan KAMMI yang sering dilontarkan oleh kader-kader KAMMI ‘Kepemimpinan Umat adalah Strategi Perjuangan KAMMI’. Saya tidak berpengetahuan untuk menafsirkan – meminjam istilah Akbar Zulfakar – manifesto ini, karena takut dan khawatir tidak sesuai dengan makna orsinal sebagaimana dicetuskan oleh Ideolog-ideolog KAMMI pada awal-awal pendirian KAMMI di seantero Indonesia. Tapi saya ingin mengajak kita untuk masuk ke dalam ‘ruang’ yang sama dengan ‘pintu’ yang berbeda.
Kalau kita melihat perkembangan Iran, maka kita tidak hanya bercibaku dengan Mahmud Ahmadinejad; seorang Presiden Iran abad 21 yang begitu kontroversial di mata pemimpin dunia, utamanya oleh negara-negara Barat – tepatnya George Bush. Karena jika kita membaca secara mendalam kepemimpinan Ahmadinejad – panggilan akrab Mahmud Ahmadinejad – di Iran itu bukan hanya karena faktor dia, tapi yang paling penting adalah kepemimpinan para ulama yang mampu mengkrasikan pikiran-pikiran rakyat Iran, sehingga menakutkan Barat. Karena bagi rakyat (red. sebagian besar rakyat) Iran ketaatan terhadap ulama adalah sesuatu yang sangat penting dan sakral. Sehingga statement ulama adalah seruan yang bisa membuat ‘kuping Barat’ menjadi merah dan panas. Dan di antara kecerdasan Mahmud Ahmadinejad adalah kekuatan akomodatif terhadap gagasan-gagasan para ulama dan para cendikiawan muslim yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang; sebuah energi besar yang mengokohkan dia dalam spekulasi kepemimpinan global.
Nah, menurut saya KAMMI harus mengambil peran ini. Bagi KAMMI menjadi ulama itu tidak harus ’pergi naik haji’, tidak selalu dipahami bertopi putih dan lain-lain. Bagi KAMMI, ulama adalah manusia-manusia yang mampu memerdekakan umatnya dari belenggu kapitalis, kejahatan penguasa tak merakyat dan lain-lain. Karena ’amar ma’ruf nahyi mungkar bagi KAMMI bukan sekedar menyuruh orang untuk melaksanakan ibadah mahdhoh, tapi juga menyadarkan umat untuk memperoleh hak-haknya dari kebijakan yang anti rakyat dan tidak selogika dengan logika ’perut rakyat’.
Mengapa KAMMI harus menegaskan ini. Ini dilakukan bukan tak beralasan. Tapi KAMMI menegaskan ini karena jika kita melihat realitanya di Indonesia, ulama itu sering tidak didengar; untuk hal ini banyak kasus yang menjadi contohnya. Sebaliknya orang-orang yang disebut Cendikiawan sering didengar walaupun banyak hal yang perlu dipertentangkan. Ya begitulah kondisinya. Untuk itu, sekali lagi, KAMMI harus mampu mensiasati kondisi ini.
Ketiga; Penguatan Diplomasi dan Jaringan
Kalau kita membaca sejarah kenabian Muhamad, maka kita akan mendapatkan catatan penting bahwa kekuatan jaringan dan masifikasi diplomasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dengan dua kekuatan ini Rasulullah mampu membangun sebuah peradaban besar sampai Madinah. Beliau menjalin hubungan politis, ekonomis dan lintas budaya dengan berbagai suku dan tokoh-tokoh yang ada. Catatan ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang manusia yang sangat unggul dalam kancah diplomatik untuk mengglobalkan islam. Di mana kemudian kita bisa melihat bagaimana islam itu berkembang dan diakui bahkan diyakini oleh banyak manusia sebagai satu-satunya ‘dien’ yang mampu menyeting peradaban dalam waktu yang cukup lama.
Dalam konteks ke-kini-an terkait dengan bacaan KAMMI terhadap realits dunia saat ini, kaitannya dengan cita-cita merebut identitas global dengan Islam, maka menurut saya hal ini menjadi penting dan harus menjadi pikiran kader-kader KAMMI. Terkait dengan hal ini, saya memiliki firsasat bahwa KAMMI memang harus memulai merambah ke ranah-ranah ini; dan terkait dengan kekuatan diplomasi dan jaringan, kemampuan berbahasa asing merupakan sesuatu yang sangat penting. Terkait hal ini saya merasa sangat bangga dengan diadakannya Lomba Debat Bahasa Arab se-Asean pada pertengahan Juli 2007 lalu di Malaysia yang diselenggarakan oleh Universitas Sains Islam Malaysia dengan tema “Menjadikan Bahasa Arab sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan dan Diplomasi”.
Ini merupakan awalan bagi gerakan pemuda dan mahasiswa islam Asia Tenggara untuk menunjukkan identitas peradaban (tamadun) yang telah lama atau paling tidak sering dilupakan. Walaupun saya merasa bahwa Indonesia masih perlu penegasan identitas. Ini juga menunjukkan bahwa ke depan kader-kader KAMMI harus mau melakukan komunikasi terbuka dengan gerakan pemuda dan mahasiswa muslim di tingkat dunia. Jadi, ada semacam ‘dialog intern gerakan pemuda dan mahasiswa muslim’, dan KAMMI harus mengambil bagian.
Penutup
Setiap masyarakat dan peradaban memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Kedudukan nilai dalam sebuah masyarakat atau dalam tatanan global sekalipun bukan sekedar sebagai pemandu tetapi juga sebagai pemberi arti bagi kreativitas yang dilakukan. Nilai yang mengahrmonisasikan pluraslitas atau keragaman yang terdapat dalam sebuah masyarakat – seharusnya – menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Posisi nilai yang begitu penting, maka ia selalu menjadi motivator dan melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidup pengusungnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi energi yang mendorong seseorang atau sebuah komunitas untuk selalu bertekad dalam menegakkan dan bahkan membelanya.
Tentu dalam konteks KAMMI, identitas nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai ke-Universalitas-an islam. Ketegasan untuk mendialogkan islam ini secara terbuka dan mengglobal adalah ujian sekaligus pilihan gerakan yang harus KAMMI pilih. Inilah keberanian yang satu kamar dengan ujian gerakan; uji kelayakan gerakan; sebuah pertanyaan yang menghantui ‘apakah KAMMI bagian dari gerakan global atau hanya anak tiri gerakan lokal yang seakan-akan mendunia?’ Ataukah KAMMI merupakan bagian dari komunitas yang anti globalisasi tanpa argumentasi? Sekedar mengulangi apa yang sudah saya sampaikan di awal tulisan ini, saya pikir demi kepentingan aksi dan kreasi-kreasi jangka panjang yang lebih substansial, KAMMI harus memahami globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat pada satu pihak. Adalah terlalu optimis jika KAMMI melihat dunia sebagai satu kesatuan, sebagaimana Barat menginginkan itu atas nama HAM atau istilah ‘kerdil’ lainnya. Tanpa bermaksud mengadvokasi kelemahan-kelemahan globalisasi – terutama yang memakai baju kapitalis – namun atas nama masa depan yang lebih baik, KAMMI sepertinya tetap punya alasan bahkan banyak alasan untuk bisa menikmati globalisasi.
Selain itu, tulisan ini ingin menegaskan identitas KAMMI sebagai salah satu gerakan mahasiswa muslim yang tidak dilahirkan atas dasar kepentingan lokal semata, tapi gerakan islam yang disemai oleh gerakan global; lebih tepatnya saya sebut dengan Gerakan Transnasional. Di sini jugalah maksud sebuah impian bahwa KAMMI harus mampu bergerak menempuh jalan-jalan sunyi dan kerja-kerja peradaban. Lalu, dengan siapa KAMMI menempuh itu? Apakah KAMMI mampu berjalan dengan kader hasil ‘didikan’ KAMMI? Saya mungkin tidak bertanggungjawab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini; tapi ada harapan besar bahwa mudah-mudahan dalam tulisan ini ada ‘gagasan’ cerdas yang tidak membunuh masa depan KAMMI, sebaliknya, tulisan ini diharapkan menjadi pemicu bagi kader-kader KAMMI untuk merancang lebih dini gerakannya dengan setingan idealis masa depan yang kontributif dan mendunia; atau jika tidak biarlah tulisan ini hanya menjadi bacaan yang perlu dikritik atau dibuang di bak sampah saja, semoga!